Gerimis Oktober

Saat aku berjalan menyusuri jalan itu dengan langkah setengah berlari, rasanya jiwaku tak lagi ada di sini, mengambang dan ingin sesegera mungkin pergi dari penglihatannya. Khawatir dia akan melihat mataku dan tahu kebenaran yang tersembunyi di dalamnya.

Sebatang pohon seakan mencemoohku karena aku begitu terhanyut oleh mimpi-mimpi dan rencana yang aku bangun sendiri dengan memasukkannya sebagai tokoh utama. Lalu seolah-olah butiran kecil air hujan yang jatuh mendesis ke dalam telinga turut menghakimi, -sore itu basah oleh gerimis, Makassar benar-benar telah memasuki musim hujan pertengahan Oktober ini.

“Itu haknya, kau tak perlu tahu apalagi sampai ikut campur. Utamakan kepentingan dan kebahagiaanmu sendiri.” Tukas seekor kucing hitam pembawa sial yang sedang menjilati tubuhnya sendiri di sebuah sudut,

“Tetapi aku peduli, aku menyayanginya. aku tak ingin dia bersedih lagi, aku tak ingin dia menangis!” Sergahku.

Kucing itu berhenti menjilati tubuhnya sendiri, saat aku tiba-tiba saja menangkap bayangan matanya yang membius sebelum aku melangkah pergi tanpa memperdulikannya lagi. Aku tidak harus memberitahumu betapa lancangnya kucing-kucing perkotaan ini, karena sudah terbiasa dengan kehidupan keras kota.

Aku merasa sangat malu karena merendahkan diri dengan cepat dan tanpa diduga dengan sedemikian tak mampu menyembunyikan rasa kecewa di depannya dan merendahkan kehidupanku bagai sebuah barang murahan tanpa misteri apa pun, sehingga aku sepenuhnya terdiam, pergi dengan kesedihan mendalam.

Satu yang kusesalkan;

Mengapa kau tak juga  bisa bersabar?

*Jumat, 21 Oktober 2016

Tinggalkan komentar