“kenapa, kek ?” (bingkisan air mata untuk 1928)


(28 Oktober 2014)

Bukan kami yang mengucap sumpah 86 tahun yang lalu.
Tetapi kakek tua renta yang duduk di seberang sana.
Maka tidak ada ikatan apapun bagi kami.

Sungguh, Kek, apa yang kakek lakukan 86 tahun silam itu tidak berarti apa-apa bagi kami.
Mungkin bagi kakek, itu adalah sebuah bukti pengorbanan dan rasa cinta tanah air bagi kakek.

Namun bagi kami, disaat kini dimana cinta tanah air sudah tidak lagi populer dan dianggap sebagai sebuah fanatisme sempit dan tergeser oleh tatanan masyarakat global, apa yang kakek lakukan hanya tinggal coretan kata di buku pelajaran anak-anak yang masih memakai baju putih-merah.

Kami putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia

Kek, aku ingin bertanya sesuatu. Apa itu tanah air? Kami pun tidak tahu. Sesungguhnya kami adalaha warga negara Indonesia.

Kami hanya manusia yang bermukim di wilayah yang kebetulan merupakan bagian dari wilayah kedaulatan NKRI.

Bukan berarti kami rela menumpahkan darah demi tempat tinggal kami.
Sungguh jika kami mampu, maka kami akan lebih memilih tinggal di negara-negara Eropa sana untuk agar bisa memadu kasih di bayang-bayang keindahan Eiffel, berteriak kebebasan di atas Miss Liberty, atau tersesat di keramaian kota New York.
Hanya saja kami tidak mampu.

Takdir mendamparkan kami di negeri yang masyarakatnya banyak di bawah garis kemiskinan atau tepat di garis kemiskinan tersebut.
Negeri dengan ketimpangan ekonomi yang sangat besar.
Dan sebuah negara besar yang bahkan tidak berkutik meski berulang kali diusik oleh tetangganya.

Jadi buat apa kami menumpahkan darah untuk tanah ini? Sungguh hanya orang-orang bodoh yang rela menumpahkan darah dan berperang hanya demi apa yang mereka sebut harga diri.

Heran saja di zaman globalisasi ini masih ada orang yang fanatik sempit hanya untuk apa yang mereka sebut tanah air.
Kami hanyalah warga negara, kami bukan penduduk.
Tidak ada kewajiban bagi kami untuk membela apa yang disebut tanah air.
Bahkan kami tidak mengerti apa itu.

Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia

Sadarlah, Kek. Jendral tersenyum itu tidak lagi berkuasa.
Tidak ada lagi istilah menyatukan keragaman. Di masa sekarang ini yang sedang trend adalah upaya mempertahankan keragaman.

Tidak perlulah kalian berbohong dengan berkata hanya ada satu bangsa di NKRI ini.
Bahkan secara nyata tampak dari dulu bahwa negara ini didiami oleh bermacam-macam bangsa yang berbeda baik itu pribumi maupun pendatang. Secara ilmiah, tidak ada apa itu yang kalian sebut sebagai Bangsa Indonesia.

Selama 32 tahun Orde Baru istilah Bangsa Indonesia hanya digunakan orang-orang Jawa dalam upayanya menjajah daerah-daerah lain.

Kini lihatlah mereka mulai sadar bahwa tidak ada Bangsa Indonesia, yang ada adalah Bangsa Jawa yang memaksakan bangsa-bangsa lain di NKRI ini untuk mengikuti mereka.

Jadi, Kek, kenapa kalian berbohong bahwa kalian itu sama?
Kenapa kalian membuat sumpah palsu bahwa kalian itu satu?
Bukankah pada kenyataannya kalian itu berbeda-beda dan itu tidak dapat dipungkiri lagi.
Mungkin hanya satu kesamaan kalian pada waktu itu yaitu: sama-sama dijajah!
Kenapa pula Kakek bangga mengaku bagian dari mereka?

Lihatlah mereka adalah sekumpulan orang-orang yang malas bekerja dan korup.
Tidak ada yang membanggakan dari mereka.
Lihatlah negara yang kaya ini hancur bukan karena orang lain, tetapi karena perilaku mereka sendiri.
Lalu apa yang Kakek banggakan dengan mengaku bahwa kalian adalah satu: Bangsa Indonesia?

Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia

Kek, ingatkah adikku yang paling kecil kini bersekolah di Taman Kanak-kanak?
Di sana dia tidak lagi diajari bahasa persatuan kalian itu.
Ini era globalisasi. Maka kini Bahasa Persatuan kami adalah Bahasa Inggris.
Bahasa Inggris lah yang menyatukan kami dengan negara-negara lain.
Bahasa Inggris pula lah yang menunjukkan seberapa terpelajar kami di masayarakat kita ini.

Maka jangan heran jika kini orang tua kami lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah yang mengajarkan Bahasa Persatuan kami itu.
Jangan heran pula jika kini kami lebih suka menggunakan istilah asing dalam keseharian kami.

Karena bahasa persatuan kami adalah Bahasa Inggris.
Cukuplah Bahasa Persatuan kalian itu dipelajari dalam sekolah-sekolah konvesional kami dari umur 5 tahun hingga 18 tahun, tidak lebih.
Dan jangan berharap kami akan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari kami karena itu sangat memalukan.

Mana mungkin di zaman globalisasi ini kami masih menggunakan bahasa konvensional itu??
Lihatlah buku-buku kami, dapatkah Kakek temukan Bahasa Persatuan kakek?
Lihatlah selebaran-selebaran kami yang dipenuhi istilah-istilah Bahasa Persatuan kami.
Lihatlah forum-forum terpelajar kami yang mulai meninggalkan Bahasa Persatuan kakek karena sudah ketinggalan zaman.
Kek, kenapa 86 tahun yang lalu kalian tidak bersumpah saja menjunjung tinggi Bahasa Inggris?

Sekali lagi, Kek, kami sungguh tidak paham dengan kalian.
Mengapa kalian membuat sumpah semacam itu 86 tahun yang lalu?
Tidak tahukah kakek bahwa Sumpah dan Janji itu sangat sakral dan harus ditepati?
Tapi untunglah, Kek, bukan kami yang bersumpah melainkan kalian.

***dari: bingkisan air mata untuk 1928-Catatan bangsa yang aneh***

Tinggalkan komentar