Suatu Sore di Bulan yang Sama Seperti Tahun Itu

Sudah banyak sore yang kita lewati bersama selama empat tahun ini, mulai dari sejuk hingga dingin dan gerimis, juga senja yang hangat bahkan gerah. Ada saja cara kita melewatinya.

Sekadar jalan beriring katika pulang kuliah, kadang duduk bersama menikmati senja di halte depan baruga, jongging mengelilingi kampus. Juga kadang kamu menemaniku menikmati jus alpukat favoritku di kedai dekat fakultas.

Bagaimana mungkin semuanya begitu terasa menyenangkan padahal bisa dibilang itu membosankan karena sudah terlalu sering kita lakukan.

***

Senja Terakhir di Februari

03 Februari 2017.

Suasananya tidak begitu ramai di penghujung sore yang sejuk pada awal februari itu, kamu menemuiku di taman kampus yang berhadapan langsung dengan perpustakaan pusat. Seperti biasa, aku datang dengan sedikit terlambat. Maafkan aku, masih sering saja mengulang kebiasaan buruk, membuat orang lain menunggu. Kamu pasti sudah terbiasa dengan sikapku itu.

Aku tidak ingat betul bagaimana ‘gayamu’ sore itu, aku tidak berani berlama-lama saat menatapmu. Yang aku ingat hanya bahwa kau mengenakan kemeja merah. Entah kebetulan atau bagaimana, warna kaos yang kukenakan hari itu juga sama; merah. Kita seperti janjian. Heheh..

Dengan wajah ceriahmu, kamu duduk dengan kaki dibiarkan bergelantung, sementara aku sekitar dua meter di sebelah kirimu dengan duduk bersila. Kita menghadap ke arah yang sama, gedung laboratorium yang sudah terlihat sepi, tempat yang hampir empat tahun kita bergelut dengan berbagai kegiatan praktikum yang melelahkan. Hanya sesekali mahasiswa yang lewat melintas di depan kita, menurut perkiraan mereka akan pulang istirahat setelah seharian di kampus. Ah, itu pasti.

Sebenarnya, hanya sebuah keperluan kau menemuiku, hanya butuh setidaknya tiga menit selesai urusan kita. Tapi hari itu, kita menghabiskan sore yang hangat dengan banyak bercerita, seolah itu adalah hari terakhir kamu dan aku menjalani sore bersama.

Dan ternyata benar, setelah hari itu, aku melewati hari menjelang senja tanpa ada ‘kita’. Kamu dan aku kini memiliki kesibukan yang berbeda. Meski kita pernah melewati jalan rutinitas yang sama.

***

Sahabat baik

09 Februari 2017.

“Hei, aku punya berita bagus,”

Kataku malam itu ba’da magrib. Aku seperti anak kecil kegirangan yang baru saja diberi permen. Tak sabar menyampaikan bahagiaku, kamu pun tak kalah antusias dan penasarannya.

“Apa.. apa? Cepat bilang!”

Aku bisa membayangkan wajahmu yang penasaran dan tersenyum di ujung telepon sana.

Malam itu aku menyampaikan bahwa aku tidak jadi meninggalkan Makassar seperti rencana yang pernah aku utarakan padamu, hal yang membuatmu sedih dan marah waktu itu karena kita akan terpisah jauh. Aku akan melanjutkan pendidikan, aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah apoteker.

Kamu adalah orang pertama yang kuberitahu setelah keluargaku. Kamu pasti bahagia mendengarnya, kan? Kita masih bisa melewati sore lagi bersama-sama.

***

Penghujung sore

14 Februari 2017

Aku selalu bahagia melihat senyummu. Sore ini kamu juga lebih banyak senyum dengan mata berbinar, semangat bercerita padaku tentang pendidikan profesimu yang sekarang sudah magang di rumah sakit. Itulah juga alasan mengapa kita sulit sekali bertemu akhir-akhir ini, bahkan untuk sekadar berbagi kabar lewat media sosial.

Sore ini kita punya cukup waktu untuk melepaskan rindu, dan aku selalu setia mendengar ceritamu.

Kamu terus bercerita tentang rekan sesama profesimu, kesibukan hampir seharian di rumah sakit, momen-momen lucu saat kamu menangani pasien.. dan sebagainya.Seperti biasa, aku mendengarnya dengan seksama, sesekali manatap wajahmu, sesekali menanggapi dan berusaha tertawa meski lebih sering nggak nyambung dengan yang cerita yang kamu sampaikan. Aku hanya ingin melihatmu tertawa, bahagiaku ada di sana.

Tapi beberapa saat kemudian kamu terdiam, menunduk. Aku tak menemukan ceria di wajahmu.

Kamu lalu berkata,

“Kamu jadi melanjutkan kuliah di sini, kan?”

Agkhh, kamu akhirnya menyadarinya juga, padahal ini adalah tema yang sama sekali tidak ingin aku bahas denganmu. Aku tidak langsung menjawab, hanya diam dengan senyum sedikit terpaksa yang kuarahkan padamu.

“Bagaimana dengan beasiswamu? Kamu akan melewatkannya? Aduh, apa yang kamu pikirkan sebenarnya?” Tanyamu lagi.

Sore kian renta dan kulihat senyummu makin pudar. Kamu masih belum bisa menerima keputusanku meski aku telah menjelaskannya.

***

Kepergian

17 Februari 2017.

“Jadi, kamu benar-benar akan pergi?”

“Iya, sebelum 20 Februari, aku sudah harus ada di sana. Sebenarnya belum diterima sepenuhnya, tapi aku sudah lolos untuk tahap pertama.”

“Berapa lama kamu di sana?” Tanyamu dengan tatapan tajam menghujam ke wajahku.

“Sekitar dua pekan untuk tahap adaptasi, jika benar-banar diterima insyaAllah aku pulang setahun lagi,” jawabku tanpa rasa berdosa.

“Setahun? Harus se-lama itu? Bagaimana kau mengingatku ?”

Wajahku yang sedari tadi hanya menunduk kuangkat, kutatap lekat-lekat wajah yang selalu mewarnai hari-hariku itu, wajah yang yang selalu kulihat bersemangat dan ceria, kini tak bisa menyembunyikan kesedihan di hadapanku.

“Ah, kamu jangan drama begitu dong!”

Balasku berusaha menenangkannya.

“Doakan saja aku,” tambahku lagi.

Langit sore itu terlihat mendung, menjadi saksi betapa beratnya perpisahan dua orang sahabat.

Sore yang hangat

21 Maret 2017.

Sebuah pesan darimu lewat messenger,

“Hei, bagaimana kabarmu? Sudah baikan?”

Lagi-lagi kau menyapaku di waktu sore, aku mulai berpikir bahwa sore adalah waktu terbaik yang diciptakan Tuhan buat kita, spesial.

Kamu mencercahku dengan berbagai pertanyaan. Ya, kamu memang tahu kalau aku baru beberapa hari ini keluar dari rumah sakit karena demam berdarah, sekarang masih dalam masa pemulihan. Kamu sangat kessal ketika tahu bahwa aku menghentikan minum obat yang diberikan dokter karena alasan malas minum obat dan hanya memilih banyak minum air putih.

“Minum obatnya! Kalau sudah nda terlalu lemah kau rasa, bisa sekali sehari saja, terutama yang vitamin!” Suruhmu dengan ‘sewenang-wenang’ padaku.

Kamu pun mengatur-ngatur mana obat yang harus aku habiskan, mana yang hanya perlu aku komsumsi secukupnya. Aku tidak bisa membantah, tentang obat dan segala hal yang berkaitan dengannya, memang keahlianmu.

Jangan blogging terus!,” katamu lagi.

Dassar kamu yaah, selalu saja begitu kalau aku dalam masalah. Selalu berlebihan mengkhawatirkanku!

***

Menjelang malam

30 Maret 2017.

Kamu menyampaikan kabar kalau sedang di Ibu Kota Jakarta sekarang, dua hari yang lalu di kota Bandung dalam rangkaian tur pendidikan profesimu, beberapa gambar kamu posting di akun media sosialmu.

Ya Tuhan, betapa bangganya aku melihatmu. Kamu memang bisa, dan akan selalu seperti itu. Keraguan yang sempat kamu utarakan padaku dulu, tidak terbukti. Sebentar lagi mimpi-mimpimu akan terwujud, aku senang sekali. Sangat bahagia melihat kamu telah sampai ke tahap ini. Aku akui, kamu memang cerdas, akan selalu ada tempat yang layak untuk orang-orang sepertimu.

Hanya sebuah doa dan harapan yang selalu aku sampaikan padamu;

Semoga kamu sehat selalu, bahagia juga.

Ah, aku tahu itu kalimat harapan yang terdengar basi, tapi itu harapan yang muncul dari hati terdalamku, aku tidak tahu merangkai kalimat yang manis-manis. Yang ini, tolong dimaafkan (juga).

Senja

Ketika kamu membaca tulisan ini, berarti sudah cukup waktu sejak kepergian untuk membuatku rindu. Dan percayalah, keadaanku baik-baik saja, berhenti mengkhawatirkanku seperti yang pernah kau tunjukkan. Oh ya, aku berharap, yang ‘pernah kuberikan’ kamu jaga dan baca. Kamu tidak boleh lagi mengulang kesalahan masa lalumu! Kamu mengerti kan yang kumaksud?

Semangat untuk pendidikan profesi apotekermu, Sobat. Semoga mimpi-mimpi yang pernah kita utarakan bersama segera terwujud. Aku tak sabar mendengar ceritamu lagi di bawa langit senja yang hangat.

***

Rabu sore yang sejuk, 22 April 2017

Tinggalkan komentar