Di kaki Gunung lakawan, kecamatan Anggeraja, Enrekang.
Mendung dan kabut selalu menjadi misteri. tak ada yang tahu, kecuali Dia. rasa yang tiba-tiba muncul karena ketidak-sengajaan, luka yang sedianya masih dalam proses penyembuhan kembali menganga, perih tak tertahankan. tangis sedihmu tak bisa kuhapuskan.
kau kembali melakukan ‘kesalahan’ yang sama. aku membencimu!
Awan gelap menyelimuti langit Pundi Lemo, kembali menghadirkan kenangan masa lalu yang indah -katamu- yang berubah perih tatkala dikenang. lagu lama sang legenda Nike Ardillah kembali menggema di sudut hati itu. “Surat undangan“
Sore itu, kau kembali bercerita padaku, tentang rasamu. tentang sebuah kisah yang begitu rumit nan sulit terlupakan. lagi-lagi mendengarkanmu sedih. kau berhasil jua membuatku kebingunan.
“Sibukkan dirimu, banyak yang harus kita lakukan di sini. program kerja menunggu kita”
“Aku tidak bisa, aku sudah berusaha”
“Kamu masih terlalu mudah untuk menangisi hal-hal seperti ini *SebuahNama, jalan kita masih panajang”.
Semilir angin di kaki gunung Lakawan dan derasnya hujan di Pundi Lemo menjadi saksi tatkala kau berjanji padaku;
“Aku akan berusaha melupakan, aku akan menambah namaku (belajar bersungguh-sungguh untuk merah gelar). Aku akan melupakan sedih ini, kamu juga yaa”
“Aamiin Yaa Rabb…” balasku.
kuucapkan dua kali. untuknya dan juga untukku.
Lakawan, Anggeraja 07 juni 2015