Kegelapan telah hampir menyelimuti,
Namun, aku tidak bisa menyembunyikan kegelisahan ini, meski dengan wajah yang kelelahan dan murung. Beberapa kali aku harus melupakan kemelut hati dan teranyut dalam indahnya kebersamaan hari-hari yang kami lewati, yang sejenak membelenggu kami.
Aku kadang memandanginya lekat-lekat, yang sebagian besar kulakukan tanpa sepengetahuannya – lebih karena kenangan daripada kekaguman.
“Ini hanya catatan harian seorang anak Palenteng yang tak punya tempat bercerita!” kukatakan pada pembaca dengan bisu.
“Aku tidak tahu apa yang dia inginkan, dia tidak pernah bercerita tentang dirinya. Dia lebih banyak memosisikan dirinya sebagai pendengar, tetapi selama empat tahun aku mengenalnya, dia lebih banyak menulis tentang sesuatu dan sosok yang membuat semua menebak dan menerka-nerka tak pasti.” Ujar seseorang.
Aku hanya terdiam sesaat lalu berseru;
“Sayang sekali. Dengan sepenuh hatiku, kurasakan betapa kata-kata ini menandakan sebuah kisah akan segera berakhir.”
***
Kegelapan telah hampir menyelimuti kami, senja telah turun ketika seberkas sinar menyeruak di ruangan itu. Terdengar keributan. Jantungku, yang mulai berdegup kencang seperti genderang.
Segera saja paham; aku menyukainya.
*Rabu, 10 Agustus 2016