Sebelum kalian beranjak menuju tempat tidur untuk menutup hari ini, sempatkanlah sejenak mengunjungi kedaiku. Jangan khawatir pada hawa dingin yang menyergap di kota ini, karena segalanya akan terbayar setelah kalian menikmati satu menu spesial yang kedaiku miliki. Aku yakin kalian tak akan menemukannya di kedai manapun.
“Mimpi seperti apa yang Anda inginkan?”
Pria di depanku menunduk. Ia mengacak rambutnya yang lebat. Sepertinya ia berusia tak jauh berbeda denganku, sekitar dua puluh lima tahun. Selanjutnya ia menolehkan kepalanya ke kanan, juga ke kiri, memperlihatkan pipinya yang tirus. Sesekali matanya menyipit, bahkan terpejam. Dahinya terus mengernyit. Ia tampak seperti orang bingung.
Sudah dua kali aku menanyakan hal yang sama padanya sejak ia datang. Namun sejauh ini ia masih belum memberikan jawaban. Hanya melakukan gerakan-gerakan yang menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras. Atau mungkin juga ia sedang menimbang-nimbang beberapa pilihan yang harus ia putuskan.
“Mungkin Anda bisa duduk dulu di meja sebelah sana,” aku menujuk sekumpulan meja kayu yang diterangi lilin-lilin di atasnya, menciptakan nuansa temaram. “Nanti setelah Anda menemukan mimpi apa yang hendak Anda beli, kembalilah ke meja pesanan,” ujarku akhirnya, setelah lewat lima menit pria itu tak juga menyebutkan mimpi yang ingin dipesannya.
Ia menggeleng, tampak putus asa sambil meninggalkan meja pesanan.
Ah, bagaimana bisa ia tak menentukan mimpi apa yang ingin ia beli sebelum datang ke kedai ini. Bukankah semua orang datang kemari karena memang ingin membeli mimpi yang selama ini sudah mereka angan-angankan?
Antrian berlanjut ke orang berikutnya. Aku meminta rekanku, Redakta, untuk mengambil alih posisi meja pesanan yang telah kududuki sejak petang tadi. Sudah lebih dari dua jam aku menjaga meja itu tanpa henti melayani pengunjung kedai yang terus berdatangan. Punggungku sudah mulai pegal.
Dalam hati mungkin kalian bertanya-tanya tentang kedaiku. Mimpi seperti apa yang dijual di kedaiku? Baiklah, aku akan menjelaskan tentang mimpi yang kutawarkan kepada para pelanggan.
Di sini aku menjual mimpi yang pembeli inginkan agar hadir dalam tidur mereka. Itulah alasan kenapa kedaiku hanya buka tiap menjelang petang hingga pukul sembilan malam. Ya, karena pukul sembilan malam waktu bagi para pemimpi di kotaku untuk memulai tidur mereka.
Mungkin kalian heran, kenapa orang-orang di sini begitu tertarik membeli mimpi. Aku sendiri awalnya tak yakin ketika membuka kedai ini. Hari pertama dan kedua biasa saja. Hari ketiga hingga kelima masih biasa saja. Begitu memasuki hari keenam, semua berubah.
Aku tak tahu apa sebabnya. Ternyata orang-orang begitu antusias. Orang-orang di kotaku memang aneh. Mereka berangkat pagi-pagi, sibuk bekerja sepanjang hari, pulang menjelang petang, kemudian berangkat ke tempat tidur mulai jam sembilan malam. Benar-benar sesuatu yang menjemukan, bukan?
Kurasa hampir semua warga kota ini pernah mengunjungi kedaiku. Namun, ada satu orang yang aku yakini belum sekalipun membeli mimpi di kedaiku. Ia adalah Pak Tua yang ada di ujung gang ini. Bagiku ia orang tua kesepian yang aneh. Seringkali ia termenung. Malah aku berkali-kali mendengarnya bicara dengan hewan piaraannya. Seekor kucing abu-abu.
Jika tak begitu, malam-malam ia akan terjaga, berjalan di depan kedaiku yang hampir tutup. Begitu lewat depanku ia pasti akan tersenyum, lalu secepat kilat senyumnya akan berubah menjadi ekspresi sendu. Aneh bukan? Terkadang itu membuatku takut.
“Istirahatlah, Redakta. Kau tampak lelah,” kataku setelah semua pengunjung sudah memesan.
“Malam yang melelahkan. Lebih ramai dari biasanya,” Redakta menyeka keringat yang mengalir di keningnya. Gadis mungil itu kelihatan lesu.
Tahukah kalian, dari mana aku mendapatkan mimpi-mimpi ini? Aku memperoleh mimpi-mimpi ini dari berburu. Mimpi yang kuburu adalah mimpi yang murni. Mimpi yang murni hanya hadir dari langit, lewat hujan mimpi.
Kalian pernah menyaksikan hujan mimpi? Aku yakin kalian belum pernah melihatnya. Tiap malam langit selalu menurunkan hujan mimpi. Berbeda dengan hujan air yang datang layaknya serbuan air, hujan mimpi datang satu persatu, bergantian. Terkadang di sela jeda yang panjang, baru mimpi berikutnya turun.
Mimpi yang turun tampak seperti bintang berekor yang jatuh dengan warna yang beraneka ragam untuk berbagai mimpi. Bisa hijau, biru, merah, bahkan putih. Berpendar, berkilauan layaknya permata. Begitu mimpi itu melesat dari langit, aku akan menangkapnya lalu menyimpannya ke dalam kotak kaca penyimpan mimpi.
Hujan mimpi pulalah yang mempertemukanku pada Redakta. Kami memiliki kemampuan spesial yang tak dimiliki siapapun di kota ini. Kala itu aku, lima tahun yang lalu, tengah menatap hujan mimpi dari atas menara kota. Saat itu kedaiku belum buka.
Di saat yang sama, aku melihat sesosok gadis yang meringkuk di atas atap sebuah rumah tak jauh dari menara di mana aku berada. Aku penasaran dan segera turun, menghampiri tempat gadis itu. Itulah awal kami berkenalan hingga bisa bekerja sama membuka kedai ini. Sejak kedaiku dibuka, kini aneka mimpi yang kujual semakin banyak.
Apa kalian pernah penasaran, pernahkah aku mencoba merasakan mimpi-mimpi yang kujual di kedaiku? Aku harus jujur, tidak! Aku tak pernah sekalipun mencicipi mimpi yang dijual di sini, meski sebenarnya beberapa kali aku begitu tergoda untuk menikmati secangkir mimpi. Kata mereka yang pernah mencoba, seusai bangun tidur, mereka akan merasa begitu bahagia lantaran mimpi yang mereka alami.
Namun, satu hal yang akhirnya membuatku mengurungkan niat itu, siapa pun yang pernah merasakan mimpi, mereka akan terus menginginkan lagi. Mereka ingin terus mengulanginya. Bisa dibilang … candu!
Aku tak mau kecanduan pada apa pun. Biarkan saja pembeli-pembeli itu kecanduan. Kecanduan mimpi tak akan membunuh mereka, kan? Yang penting aku untung.
“Mimpi agar bertemu pangeran tampan yang baik hati …,” Aku membaca daftar pesanan mimpi. Kini aku ada di dapur, siap meracik pesanan.
Kutuangkan sedikit mimpi dari kotak kaca ke dalam cangkir porselen berwarna cokelat. Cairan mimpi itu berwarna bening keperakan, seperti kristal yang memantulkan sinar. Sekilas muncul pola tipis di permukaannya, tampak seperti citra. Selanjutnya air hangat kutambahkan ke dalam cangkir itu agar mimpi yang kuhidangkan tidak terlalu pekat. Begitu siap aku melangkah menuju meja tunggu.
“Secangkir mimpi untuk tuan puteri,” ucapku sambil menyajikan secangkir mimpi untuk seorang gadis di meja tunggu. Dalam temaram ruangan kedaiku, kulihat ia ternganga menyaksikan secangkir mimpi yang baru saja kusajikan. Ekspresi yang selalu ditunjukkan oleh pengunjung yang baru pertama kali ke kedai ini.
Aku masih melihat pria tadi yang tampak kebingungan di mejanya. Ia belum juga memutuskan mimpi apa yang ingin ia beli. Sekilas kulirik jam yang bergerak menuju pukul sembilan.
Ah, ia terlalu banyak buang waktu. Bukankah tinggal ucapkan saja apa yang ia mau, lalu kami akan menghidangkan padanya secangkir mimpi pesanannnya, hingga akhirnya malam ini, ia bisa menikmati tidur dan mimpi indahnya. Mudah sekali, bukan? Tapi ia belum juga memesan.
Malam semakin larut. Pintu kedai kami sudah tak berayun lagi. Pengunjung sudah mulai sepi. Hanya tersisa beberapa pengunjung yang tengah menikmati cangkir-cangkir mimpi mereka. Dan … pria tadi masih juga tak beranjak dari mejanya. Berkali-kali ia tampak ingin segera bergerak menuju meja pesanan, tapi berulang-ulang pula ia kembali duduk di kursinya, kembali berpikir.
Tepat jam sembilan saat pria itu akhirnya mendekati meja pesanan.
“Maaf, kami sudah tutup,” ucap Redakta dari balik meja pesanan.
“Tapi … aku sudah ada di sini sejak sejam tadi,” balas pria itu mencoba membujuk.
Redakta menoleh padaku sesaat. Aku menganggukkan kepalaku agar ia melayani pria itu. Ia pantas mendapatkan pesanannya malam ini.
“Baiklah. Mimpi apa yang ingin Anda pesan,” Redakta menyiapkan catatannya.
“Aku … aku ingin memesan kebahagiaan,” ucap pria itu akhirnya.
Redakta dan aku sama terkejutnya mendengar pesanan itu. Aku segera menguasai diriku dan memberi isyarat pada Redakta agar mencatat pesanan pria itu. Namun, Redakta masih tampak ragu.
“Aku ingin memesan kebahagiaan,” ulangnya, tak sabar.
“Baiklah. Pesanan akan segera diantarkan ke meja Anda,” sambarku cepat-cepat.
Aku berpikir sejenak. Lalu segera beranjak ke dapur, mengambil cangkir kosong, memilih satu mimpi, menuangkannya, hingga menyeduhnya dengan air hangat. Pesanan siap.
“Selamat menikmati.”
Pria itu segera meminum mimpi yang aku sajikan. Dalam beberapa tegukan saja langsung tandas.
Lewat jam sembilan akhirnya kedai tutup. Pria tadi menjadi pengunjung terakhir yang datang. Sebelum mengunci pintu, aku sempat melihat Pak Tua lewat depan kedaiku. Ia berjalan di belakang kucingnya. Sesaat ia menatapku lalu tersenyum. Dalam sekejap ekspresi berubah sendu. Tapi ada ekspresi asing yang kutemukan di wajahnya. Entahlah, seperti bahagia, terkejut, yang menjadi satu. Ia lantas kembali melanjutkan langkahnya lebih cepat.
Buru-buru kukunci pintu kedaiku. Aku pergi tidur.
***
“Mimpi apa yang ingin Anda pesan hari ini?”
Petang telah datang. Kedaiku sudah mulai buka dan didatangi para calon pembeli. Aku sudah berdiri di depan meja pesanan, siap melayani tiap pengunjung yang datang. Beberapa pengunjung selalu kulihat datang kemari setiap hari. Entahlah, mungkin bermimpi memang lebih mudah daripada mewujudkannya di dunia nyata.
Satu persatu antrian maju. Saat itulah aku bisa melihat pria kemarin kembali masuk ke kedaiku. Ia baru saja ke sini kemarin, dan hari ini ia sudah datang lagi. Sepertinya ia akan menjadi pelanggan setia kedaiku.
Semua pesanan dari pelanggan langsung kucatat, hingga tiba giliran pria itu.
“Selamat data …,”
“Aku ingin memesan kebahagiaan. Kebahagiaan! Bukan mimpi seperti yang kemarin,” ia memotong ucapanku cepat-cepat. Urat-urat di wajahnya tampak jelas.
“Maaf,” tanyaku heran, meski dalam hati aku cukup khawatir tentang mimpi yang kusajikan kemarin.
“Aku tak ingin menjadi raja. Aku tak ingin menjadi penguasa. Aku tak ingin hal-hal semacam itu,” Ia berujar dengan cukup keras. “Yang kuinginkan hanya satu. Kebahagiaan. Bisakah kau menyajikannya untukku?” desahnya pelan. Nada bicaranya berubah total.
Aku terdiam cukup lama, mengingat-ingat semua mimpi yang pernah kudapatkan yang sekarang ada di dapur.
“Saya ingin bicara secara pribadi dengan Anda,” ucapku akhirnya.
Meja pesanan kuserahkan pada Redakta. Aku bergegas mengambil satu meja khusus untuk bicara dengan pengunjung anehku.
“Maaf, bisakah Anda menyebutkan mimpi yang ingin Anda pesan lebih jelas? Maksud saya, kebahagiaan seperti apa? Yang kami jual di sini adalah mimpi-mimpi terbaik yang pernah ada, dan tentunya mimpi-mimpi yang menyenangkan.”
Pria itu menggeleng. Raut wajahnya tampak pasrah. “Aku hanya bisa menyebutkan itu. Jika kau bilang di sini punya mimpi-mimpi terbaik, seharusnya kau punya juga mimpi yang kuinginkan ini.”
Kembali aku berpikir. Jika aku tak mampu menyajikan apa yang pria ini inginkan, reputasi kedaiku akan hancur. Selama ini tak pernah ada masalah tentang menu kedaiku.
“Aku berani membayarmu mahal asal kau sediakan mimpi itu padaku.”
Wow, tawaran yang menggiurkan! Aku tak mungkin menolaknya.
“Kami berjanji akan menyediakan mimpi itu … minggu depan. Apa Anda bersedia menunggu?”
“Minggu depan? Itu terlalu lama. Aku akan bayar berapapun yang kau minta jika aku bisa mendapatkan mimpi itu paling lama tiga hari dari sekarang. Aku sudah cukup tersiksa dengan hidupku kini. Hidupku terasa penuh beban yang tak kuketahui apa sesungguhnya. Aku butuh mimpi yang … setidaknya akan membuatku bisa merasakan kelegaan….”
Tiga hari? Itu waktu yang singkat. Tapi … berapapun akan ia bayar untuk mimpi itu.
“Baiklah. Mimpi itu akan segera kami siapkan untuk Anda.”
Pria itu mendengus pelan. Tanpa buang waktu ia beranjak dari kursinya lalu berjalan menuju pintu. Sesaat kemudian sosoknya sudah menghilang dari kedaiku. Namun, ucapan dan tawaran yang ia berikan masih terngiang di kepalaku. Aku harus mendapatkan mimpi itu. Mimpi kebahagiaan.
***
Dingin malam menjadi-jadi saat aku dan Redakta duduk di atas atap menara kota. Dari sini seluruh penjuru kota akan terlihat. Sudah dua malam ini kami menghabiskan waktu seusai kedai tutup hingga menjelang pagi di tempat ini. Kami tengah memantau hujan mimpi, lalu menangkap satu persatu mimpi yang turun.
“Aku sungguh tak tahu seperti apa wujud mimpi kebahagiaan itu,” kata Redakta sambil menarik mantelnya. Ia menggigil di pinggiran atap.
Aku diam saja. Sesungguhnya aku juga tak jauh beda dengannya, malah sama. Aku juga tak tahu seperti apa mimpi kebahagiaan itu. Alhasil, sepanjang dua malam ini kami menangkap sembarang mimpi yang tampak meluncur di angkasa kota.
Sebenarnya kami bisa saja menangkap mimpi yang sedang terjadi dalam tidur manusia. Namun itu bukan lagi disebut mimpi yang murni. Bisa dikatakan sari mimpi yang turun lewat hujan terlanjur masuk dalam bawah sadar manusia. Jika itu kami sajikan pada pelanggan, maka dalam mimpi pelanggan akan muncul si pemilik mimpi yang asli.
“Menurutmu, seperti apakah kebahagiaan itu,” tanya Redakta tiba-tiba.
Kupejamkan mataku sesaat. “Bagiku, bahagia adalah menjadi raja, penguasa, banyak harta. Lalu, kebahagiaan bagimu apa?” Ia tak menjawab tanyaku.
Redakta terdiam, dia hanya menatapku dengan matanya yang indah. “Yang kita perlu adalah makna kebahagiaan pria itu.”
Aku meletakkan kotak kaca, tempat mimpi yang baru saja ditangkap Redakta dimasukkan. “Lalu, kau punya usulan?”
“Kita sudah menangkap semua mimpi yang turun lewat hujan di sini.” Ia tampak lelah. Rambut panjangnya tampak kusut. “Bahkan, kurasa aku sudah menangkap mimpi semua warga kota ini … termasuk satu yang aneh.”
“Aneh?” Aku tak seteliti Redakta.
“Pak Tua di ujung gang. Mimpinya setiap malam selalu sama ….”
“Itu mungkin karena … ia gila,” sambarku setengah berbisik.
Redakta menggeleng pelan. Ekspresi wajahnya aneh, tampak sangat meragukan ucapanku.
“Sebentar lagi pagi. Sudah beberapa malam ini kita tak tidur. Kurasa kita tak punya kesempatan lagi untuk mendapatkan mimpi kebahagiaan itu. Dan kita tak akan dibayar mahal oleh pria aneh itu,” desahku pasrah. Dalam hati aku merasa berat.
Aku berjalan meninggalkan Redakta yang masih tak bergerak dari tempat duduknya.
***
“Kalian tak bisa mendapatkannya?” tanya pria itu berang. “Aku sudah jauh-jauh datang ke kedai ini sejak minggu lalu, berkali-kali.”
“Maaf, kami tak tahu kebahagiaan seperti apa yang Anda maksud,” jawabku pasrah.
Pria itu hanya menggeleng-geleng.
Tiba-tiba saja ia menerobos pintu pesanan dan merangsek ke dapur. Ia menatap seluruh kotak mimpi yang ada di sana.
“Dari sekian banyak ini, tak adakah mimpi kebahagiaan?” Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dapur.
“Mimpi apa ini,” tanyanya sambil menunjuk kotak kaca berisi mimpi berwarna merah.
“Mimpi menjadi penguasa, Tuan.”
Pria itu menggeram. Lagi-lagi ia mengedarkan pandangannya. Berkali-kali ia tampak berpindah fokus dari satu kotak ke kotak yang lain. Sementara aku terus waspada, berjaga-jaga bila ia secara spontan mengamuk dan menghancurkan dapur kedaiku.
“Lalu yang itu,” tunjukku pada kotak berisi mimpi warna hijau.
“Itu mimpi kekayaan, Tuan. Kau bisa merasakan bagaimana menjadi seorang yang kaya raya,” aku menjelaskan padanya sambil menelan ludah. Mimpi inilah yang dulu sempat membuatku tergoda untuk mencicipinya. Beruntung aku bisa menahan keinginan itu.
“Aku tak perlu bermimpi untuk hal semacam itu. Aku sudah memiliki semuanya di dunia nyataku,” pria itu mendengus keras. Ia kembali mengedarkan pandangannya. Kali ini sambil berjalan melewati satu persatu kotak kaca yang ada. Ia mengamati tiap kotak kaca hingga berhenti di sudut ruangan. Sebuah meja kecil ada di sana.
“Kalau yang ini,” kali ini pria itu menunjuk sebuah kotak kaca yang berisi mimpi berwarna putih pucat.
Aku mengernyit heran. Rasanya aku baru melihat mimpi ini sekarang. Kemarin-kemarin aku tak pernah melihatnya. Mataku segera menatap Redakta. Ia tampak gugup menerima tatapan mataku.
“Itu bukan mimpi yang indah, Tuan …,” jawab Redakta ragu-ragu.
“Kenapa kau bilang mimpi itu tak indah?”
“Karena … saya bisa melihatnya, Tuan. Itu mimpi yang sangat suram milik seseorang.”
“Apa kau rasa yang bagimu indah selalu indah bagiku,” bentak pria itu.
“Ti … tidak, Tuan.”
“Baiklah. Beri aku secangkir mimpi ini. Jawabanmu tentang mimpi ini justru membuatku penasaran.”
Redakta segera meracik dan menyajikannya, meski kulihat ada keraguan di raut wajahnya. Pria itu tanpa buang waktu segera meminumnya.
“Aku akan kembali besok. Jika memang aku mendapatkan mimpi seperti yang kuharapkan, kau akan kubayar sesuai permintaanmu,” ucapnya. “Jika sebaliknya, kurasa nasib kedaimu akan segera berubah.” Ia bergegas meninggalkan kedaiku.
Aku melongo tak percaya. Sekali lagi kutatap Redakta. Ia tampak panik, berusaha menyembunyikan wajahnya. “Mimpi apa itu, Redakta,” selidikku. Nada suara agak tinggi.
Redakta semakin gugup. Berkali-kali ia mencoba membuka mulutnya, namun dengan segera kembali menutupnya. Aku tak tahu apa yang tengah ia rasakan.
“Mimpi apa, Redakta,” desakku.
“Mimpi … Pak Tua …” jawab Redakta akhirnya. Jawaban yang membuat mataku melotot tak percaya. Sungguh, aku tak berharap banyak pada apa yang akan terjadi besok.
***
Aku tak bisa menampilkan senyum lepasku saat melayani para pengunjung petang ini. Pikiran tentang kemungkinan kedatangan pria itu kembali menyergapku. Jika memang benar mimpi yang ia minum adalah mimpi Pak Tua, sepertinya aku sudah bisa menebak bagaimana responnya hari ini. Tak ada banyak uang yang kuharapkan lagi.
Redakta masih sibuk keluar masuk dapur dan mengantarkan pesanan. Sejak kejadian kemarin aku tak bicara dengannya lagi. Aku begitu kesal dengan apa yang ia lakukan. Bagaimana bisa ia mengambil sari mimpi Pak Tua. Bukan hanya itu mimpi yang tak murni, tapi itu juga mimpi dari seseorang yang kuanggap … gila.
Jarum jam terus berjalan. Sudah hampir pukul sembilan, pria itu belum muncul. Sedikit kelegaan kurasakan, namun kekhawatiran datang juga tiba-tiba. Apa mungkin ia keracunan mimpi orang gila?
“Selamat malam.” Tiba-tiba pintu kedaiku berayun. Dua orang pria masuk bergantian. Satu orang adalah pengunjung yang sudah kukenal, pria aneh itu. Dan satunya lagi … Pak Tua?
“Aku akan membayar sesuai yang kau inginkan. Katakan berapa,” ujar pria itu dengan senyum terlebarnya.
Aku hanya mengernyit heran. Menatapnya penuh tanya. Tak mengerti pada apa yang sedang terjadi. Redakta buru-buru mendekat padaku.
“Silakan duduk, Tuan,” sambar Redakta.
Kami akhirnya duduk di salah satu meja tunggu. Kebetulan sudah tak ada lagi pengunjung.
“Aku tak tahu harus memulai ceritaku dari mana.” Pria itu tampak menggebu-gebu. “Petang ini akhirnya aku bisa merasakan kebahagiaan.”
Aku dan Redakta masih belum bisa berkata apa-apa. Sepertinya Redakta juga masih bingung dengan apa yang terjadi.
“Setelah meminum mimpi semalam, aku bermimpi melihat ayahku. Aku melihat ia tengah duduk di bawah langit malam seorang diri. Ia tampak kesepian dan sedih. Lalu aku juga melihat … diriku. Diriku sepuluh tahun yang lalu, meninggalkan ayah seorang diri di rumahnya.”
Aku memperhatikan ceritanya sungguh-sungguh.
“Aku tak lebih baik dari anak durhaka. Waktu itu aku berpikir tak akan pernah bahagia jika terus bersama ayah yang tak punya apa-apa. Aku memutuskan pergi dan menjalani kehidupan sendiri. Aku telah mendapatkan segalanya yang selama ini kuinginkan. Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu resah dan merasa terbebani. Aku ingin membeli mimpi darimu agar tidurku kembali nyenyak dan terjaga dalam keadaan segar kembali. Karena mimpi semalam, aku tersadar akan kesalahanku pada ayah.” Pria itu menyentuh pundak Pak Tua yang tampak tenang malam ini.
Jadi Pak Tua adalah ayah pria itu? Aku nyaris tak percaya.
“Kesalahan masa lalu yang membuatku terus dibayangi beban berat. Mungkin aku takut untuk mengakui ini semua. Tapi aku hanya punya satu pilihan terbaik. Kata maaf dari ayahlah yang membuatku bebas dari segala beban yang menghimpitku. Dan bisa kembali bersama ayah merupakan kebahagiaan yang tak bisa kujelaskan. Bahkan mimpi terindah sekalipun pasti tak bisa menandingi rasa ini.” Wajahnya tampak begitu gembira.
“Ingatlah, Nak. Kebahagiaan sejati tak akan pernah kau temukan di dalam mimpi,” ucap Pak Tua.
Akhirnya aku mengerti apa yang terjadi semuanya.
“Berapa banyak aku harus membayarmu?”
Aku berpikir sejenak. “Anda tak perlu membayar.”
“Kau yakin?”
“Sepenuhnya yakin.” Aku memberikan seulas senyum tertulusku agar ia percaya.
Ia akhirnya menerima keputusanku. Lalu segera pamit dan pergi dari kedaiku bersama Pak Tua, ayahnya. Aku menatap mereka pergi sambil mengingat ucapan Pak Tua tadi bahwa kebahagiaan sejati tak akan pernah manusia temui dalam mimpi.
Aku setuju apa yang Pak Tua katakan. Namun, jika kalian lebih percaya kebahagiaan bisa ditemui dalam mimpi, sebelum tidur malam esok kunjungilah kedaiku. Aku akan tetap membukanya, menawarkan mimpi-mimpi indah untuk kalian.
-Selesai