Sepasang Liang dan Mawar di Bulan Februari

Ketika bangkai itu datang, mau tak mau aku harus menggali lagi. Meski hari sudah petang, meski surya sudah setengah tenggelam.

Tidak perlu kau ajari aku untuk memuliakan manusia dengan menyebut tubuh yang mati dengan nama-nama indah seperti jenazah atau jasad. Bagiku tiap mayat adalah bangkai karena kebusukannya. Tidak pernah kutemui mayat yang mewangi di taman pekuburan ini. Semuanya busuk seperti bangkai.

Konon, hanya mayat orang baik saja yang akan mewangi dan menebarkan bau harum. Jika benar begitu, mereka yang tumpas dan ditanam di sini adalah kumpulan orang busuk. Bangkai mereka sama tengiknya dengan bangkai tikus yang menyebarkan penyakit sampar ke orang-orang.

Maka dimulailah penggalian itu diiringi melodi hujan yang merintih deras. Aku kira hujan rajin sekali datang untuk menyapaku selebat ini. Padahal sebelumnya aku tidak pernah ditemani hujan. Apa mungkin karena bangkai yang datang nanti adalah bangkai yang tidak busuk? Bangkai orang yang baik?

Ya, seperti kau tahu, mereka yang lebih banyak menunaikan ibadah daripada maksiat. Sebab orang bilang: langit ikut menangisi kepergian orang yang baik. Ah, paling cuma omong kosong saja. Penghakiman tidak berasal dari atas sana, tapi dari bawah sini. Di sebuah ruang kecil dua kali satu meter yang sesak dan hampa.

Udara mengabarkan kematian dengan tepat. Jika kau sudah biasa menggali kubur, maka kabar orang yang akan dipusarakan datang tepat sehari sebelumnya. Nuansa di sekitar akan menjadi pengap padahal udara bergerak tanpa debu dan tiada bentangan dinding yang mengungkung taman. Tanah pekuburan tiba-tiba memadat dan makin liat. Seakan-akan malaikat sedang membuat ruang rapat untuk persiapan akan kedatangan penghuni baru yang hendak disambut. Kadang tercium bau hangus seperti udara yang terbakar. Bau yang bisa membuatku tertawa sesaat karena di pikiranku tercermin sesosok malaikat yang sedang memantik api dan menyalakan tungku untuk penyiksaan kubur yang tak henti-henti.

Dan tentu saja kau tidak bisa melupakan aroma kematian itu. Aroma yang datang dan berbau tengik seperti bau bangkai yang sengaja ditenun oleh busuknya angin dan ditumpahkan di taman pekuburan ini. Padahal kembang mawar selalu mekar dan tumbuh berderet-deret di sini. Sehari sekali, taman ini kusiram agar bunga-bunganya mengharumi bumi. Tapi mengapa aroma kematian hadir serupa bau tengik? Begitukah dosa-dosa diterjemahkan dalam aroma?

Apa karena taman pekuburan ini adalah tempat ditanamnya orang hilang? Kata orang-orang, bangkai yang tertanam di sini adalah rombongan orang yang hilang. Orang yang diceraikan dari keluarganya karena dianggap berbahaya.

Kukira orang-orang ini adalah pelaku lancung dan onar di masyarakat, sehingga bangkainya bau. Tapi aku sungguh tidak peduli, dan tidak mau peduli. Apabila ada perintah dari mereka untuk menyiapkan liang penanaman bangkai, tentu aku akan segera buatkan.

Betul, mereka adalah sekumpulan orang yang membayarku untuk melakukan pekerjaan ini. Mereka berkelompok dan saling memanggil dengan sandi yang aku pun tak mengerti. Hubunganku dan mereka sederhana saja. Aku menyiapkan liang, sementara mereka memberikanku bangkai untuk ditanam. Selebihnya adalah janjiku untuk menutup sunyi mulutku.

Lalu aku dibayar dengan uang yang cukup untuk menyekolahkan putra semata wayangku. Adil toh? Aku juga tidak ambil pusing, siapapun bangkai yang datang pasti aku jaga sebaik-baiknya. Aku mandikan dan aku salatkan sebelum kutanam dalam makam tanpa nisan. Ya, penggunaan nisan juga dilarang dalam klausul pekerjaanku ini dengan mereka.

“Tandai saja makam mereka dengan bunga,” instruksi dari mereka.

Lalu kutanami mawar di pekuburan itu. Aku memilih mawar dengan alasan sederhana. Pertama, kamboja terlalu umum bagi sebuah pemakaman dan wanginya tidak bisa menghilangkan tengiknya bau kematian yang kadang menyergap. Kedua, mereka ― ya, mereka yang menyuruhku ― lebih sering mengucapkan kata “mawar” dibandingkan sandi lainnya. Kadang diawali dengan kata “tim” atau “bunga”. Jadilah taman mawar yang indah terhampar di depanku. Padahal di bawahnya, berbaris kaku puluhan bangkai. Mungkin ini makam paling cantik di seluruh dunia.

Jengkal tanah yang memadat sehari sebelumnya, membuatku mengeluarkan tenaga lebih besar. Bukan butiran tanah yang kuhadapi, tapi gelondongan tanah liat yang mengkal. Sudah barang tentu aku lelah. Ditambah keganjilan pesanan mereka kali ini: dua liang untuk dua bangkai.

Keanehannya adalah: pertama, tidak biasanya mereka meminta lebih dari satu buah liang. Bangkai-bangkai itu selalu aku kebumikan satu per satu, tidak lebih dari satu liang tiap harinya. Kedua, sudah hampir tiga bulan mereka tidak memesan liang. Aku ingat, bangkai terakhir datang tanggal 19 Mei 1998.

Bahkan aku masih ingat betul wujud bangkai terakhir yang ditanam. Seorang pemuda dengan usia sekitar 20 tahun. Tubuhnya terlihat masih kokoh walau banyak bekas luka. Dan ia memasang senyum beku. Galur di mukanya menerjemahkan raut takut sekaligus berani. Aku tidak tahu pelaku onar seperti apakah ia dan bangkai-bangkai terdahulu hingga dianggap berbahaya dan nyawanya sampai diregang paksa.

Semenjak itu tak ada lagi pesanan liang padaku. Akupun menjual mawar yang tumbuh di taman pekuburan. Bunganya merah dan wangi. Kutawarkan tangkai demi tangkai mawar itu di pinggir jalan dan banyak pemuda yang membeli. Untung kekasihnya tidak tahu jika bunga itu dipupuk dari dosa orang mati.

Mungkin saja bangkai manusia bisa menjadi kompos paling baik untuk bunga-bunga, atau mungkin saja bunga itu tumbuh dari wangi doa-doa para famili yang ditinggalkan. Bukankah kehilangan membuat manusia mengurai doa yang paling tulus, doa yang tak pernah putus?

Dua buah liang selesai kugali. Aku menanti mereka yang sudah memesannya. Kulihat taman dengan mawar yang tumbuh indah beserta duri dan belukarnya, walau ada dua liang yang merusak kecantikan taman itu. Ah sudahlah, mawar akan mekar lagi. Bangkai akan tertanam lagi.

“Sudah siap, kamu,” kurasakan sesuatu menempel belakang kepalaku.

“Siap, Pak, mana mayatnya,” mereka ternyata sudah datang.

Pertanyaanku tak dijawabnya. Tapi aku merasakan matahari masuk ke dalam kerongkonganku. Matahari yang menciptakan lautan panas dan terik. Seperti ada malaikat memantik api di liang kepalaku. Pandanganku gelap, kepalaku panas. Hanya mega yang masih setia mengguyurkan hujan. Tapi di dalam kepalaku, api tak padam. Dia justru menerangi ruang yang sumpek dan hampa. Ruang yang disiapkan malaikat untuk menerima penghuni kubur baru.

—–

Matahari menumpahkan sinarnya di cakrawala. Mega-mega lenyap menanggalkan busana yang dikenakan surya. Kurasakan kuncupku merekah, kelopakku indah, mahkotaku berkembang gagah.

Lihatlah, putraku akan memetikku sebentar lagi. Mungkin aku akan dijual di pinggir jalan atau diberikan pada kekasihnya di hari kasih sayang ini.

Dan sebuah liang kosong itu masih ada di sana, lengang, menanti anakku benar-benar dewasa.

Tinggalkan komentar