Halo, Zah.
Aku ingin memulai ini dengan menanyakan kabarmu, tapi kamu pasti sudah tahu ini hanya akan jadi basa-basi klise. Kamu baik-baik saja, kan? Aku mengikuti media sosialmu. Seperti biasa, kamu selalu terlihat ceria dan anggun di dalam foto. Aku harap senyum dan ceriamu benar-benar asli karena bahagia, bukan dibuat-buat.
Kamu sekarang juga sedang aktif di komunitas sosial, kan? Wah itu keren sekali, kamu memang memiliki hati yang baik, suka membantu dan peduli sesama, meski dulu kamu begitu pemalu.
Zah sahabatku,
Di tanah rantau tempatku belajar ini, aku sakit-sakitan. Ini menyebalkan sekali, padahal waktu masih di Makassar aku jarang sekali sakit apalagi hanya gigitan nyamuk ‘brengsek’ itu. Iya, aku terkena demam berdarah dan membuatku terkulai beberapa hari di rumah sakit, meski sekarang sudah diizinkan pulang, tubuhku belum pulih betul dari serangan penyakit itu, kepalaku juga masih sering pusing hingga harus lebih banyak istirahat..
Demi Tuhan, kalau nanti kutemukan Aedes aegypti atau Aedes albupictus yang sudah berani menghisap darahku, pelaku yang meletakkan virus dengue kurang ajar yang sekarang berpesta dan beranak-pinak di dalam badanku ini, membuatku harus dirawat di rumah sakit dan menyusahkan orang lain, akan kuasapi mereka dengan Tiga Roda atau kusemprot dengan Baygon atau bahkan kuhisap darah mereka tanpa ampun, biar mereka tahu, penyakit rindu seorang perantau sepertiku ini bisa mendekam lebih lama, menjangkit lebih sakit, dan membunuh lebih perlahan daripada demam berdarah yang mereka tebarkan ke tubuhku. Lihat saja!
Jika memang mengeluh menjadikanku pendosa, maka berdosalah aku. Pun jika sekarang aku harus jadi pembunuh makhluk jahannam bernama nyamuk Aedes itu, maka sebutlah aku orang yang tidak ber-perikebinatangan. Aku tak akan peduli, kurasa tidak ada lagi yang perlu kuanggap terlalu serius dengan pendapat orang lain terhadap sikapku yang satu ini. Kamu juga pasti mendukung kan, Zah?
Kalau aku harus menyerah pada virus dengue itu sekarang, biar kutuliskan dulu sebuah surat, untuk menyapamu, Zah. Meski aku tak yakin kamu akan membacanya.
Zah yang baik,
Bagaimana dengan skripsimu? Lancar, kan? Semoga saja dosen pembimbingmu bersahabat dan berbaik hati saat kamu pergi konsultasi. Mengurus tugas akhir kuliah itu memang perlu kesabaran dan semangat yang lebih, Zah. Tahun ini semoga saja targetmu untuk mengenakan toga di kepala segera terwujud.
Pokoknya, kamu harus bersemangat terus yaa, calon ibu guru yang disayangi murid-muridnya. Heheh.. Begitu kan cita-citamu seperti yang pernah kamu sampaikan padaku di pertemuan pertama kita di kedai depan Makassar Town Square, 09 Desember 2015 siang itu.
Kamu harus berhenti membanding-bandingkan dirimu dengan teman masa SMA-mu yang kebanyakan sudah menyelesaikan kuliahnya, kamu kan memang punya alasan yang kuat atas keterlambatan menyelesaikan kuliahmu, kamu pindah jurusan di tahun pertama karena tidak sesuai dengan minatmu, aku sangat mendukung keputusanmu itu, apa pun jurusan yang kamu pilih, kamu harus memiliki minat di situ, kamu perlu bahagia dan menikmati prosesnya.
Zah,
Kamu sekarang juga sudah rutin olahraga, kan? Hahah.. maaf kalau pertanyaan ini membuat raut wajahmu menjadi cemberut jelek :p Aku ingat loh janjimu, bahwa setelah pulang dari kegiatan organisasi di Kalimantan Selatan waktu itu (aku sudah lupa waktunya), kamu akan rajin olahraga, biar berat badan turun dan pipimu ngga makin tembem. Olahraga itu penting loh buat kesehatanmu, kamu pasti tahu tentang ini.
Ngemilmu juga kurangi, apalagi hobimu makan indomie campur telur rebus malam-malam, sampai-sampai pernah muntah karenanya. kalau perlu, kamu hilangkan kebiasaan itu!
Zah,
Mengenai kebiasaanmu begadang hingga lewat malam, aku harap sudah juga kamu tinggalkan, itu benar-benar tidak baik buat kesehatan. Meskipun tugas kuliah banyak atau bagaimanapun semangatnya kamu mengerjakan skripsi, kamu harus cukup istirahat. Kamu bisa sakit jika kurang istirahat.
Sakit itu rasanya menyebalkan Zah, apa-apa tidak ada urusan yang jalan. Kamu tidak boleh mengalaminya. Pokoknya, kamu nggak boleh begadang lagi. Maaf kalau dulu aku sering menemanimu chattingan tidak jelas sampai larut malam, kebiasaan buruk kita masa itu tidak boleh diulang. Mengenai jadwal tidur, sekarang aku sudah disiplin loh, kamu pun harus begitu!
Zah yang baik,
Dari sini, aku juga berharap kamu masih istiqomah dengan keputusanmu ‘hijrah’ untuk mengenakan pakaian yang syar’i, kamu harus sabar dan kuat, Zah. Mengikuti sunnah dan ajaran agama memang kadang membuat kita beda dan terasing dalam pergaulan, ini sudah disampaikan oleh nabi kita lewat sabdanya, aku lupa bagaimana bunyi lengkapnya tapi intinya seperti itu. Heheh..
Abaikan saja perkataan orang-orang sekitarmu, toh keputusanmu sudah benar, mereka hanya belum mendapat hidayah. Aku mendukungmu.
Keep istiqomah yaa!
Oh iya Zah, bagaimana kabar ummi-mu sekarang? Sudah sehat kan? Aku harap begitu. Aku turut sedih ketika ummimu harus dirawat di rumah sakit sampai beberapa hari waktu itu. Kamu pun nggak kalah cengengnya kalau membahas masalah ibu, hingga mengganggu urusan kuliahmu.
Bagaimana tidak, hampir tiap pekan kamu harus pulang kampung menempuh perjalanan hampir 8 jam menemui ummi-mu meski telah keluar rumah sakit, saking khawatirmu. Padahal bisa saja kamu menghubunginya lewat telepon.
Semoga sekarang ummi-mu sudah benar-benar sehat dan kamu bisa membahagiakannya, Zah.
Zah,
Di sinilah aku sekarang, menggigil di antara nyamuk Aedes yang berpesta semalaman. Tenggelam dalam kenangan-kenangan, genangan yang ditampung mangkuk pelupuk. Membaca kembali keropak-keropak rinduku yang lapuk, satu-satu.
Zah,
Tidakkah kau lupa menemuiku sebelum aku berangkat ke tanah Jawa ini dulu? Tentang cara menjaga pesan-pesan baik dari sahabat? Menjaga kesehatan, nggak mudah sakit, mengubur rindu atau apalah. Agar aku bisa fokus dengan pelajaranku di sini. Atau bolehkah nanti saat libur idul fitri kau menyempatkan waktu menemuiku untuk memberi wejangan atau kamu pun bisa memarahiku dengan sepuasmu agar aku jerah dan selalu ingat untuk menjaga kesehatan?
Zah, sahabatku, kuharap kau ahli dalam menunggu. Sebab kau harus menanti hingga sekitar 365 hari saat kepulanganku dari sini, jika Tuhan masih memberikan umur yang panjang. Semoga itu waktu yang cukup untuk sekadar melihat sahabatmu ini benar-benar menjadi manusia.
Kau sedang apa sekarang Zah? Apa yang kau juga merindukan sahabatmu ini?
Zah,
Beginikah rasanya rindu? Bahkan aku dibuatnya tak cukup yakin dengan perihal kelelakianku. Pergi jauh tidak menjadikanku dipecat dari pekerjaan sebagai sahabatmu kan, Zah? Maaf, Zah, November tahun ini sepertinya aku tidak bisa menemuimu di tempat biasa kita berbagi cerita untuk sebelas bulan yang masing-masing kita lewati. Padahal aku sudah janji. Aku tahu, kamu pasti tidak senang. Maafkan aku ya, Zah. Maaf.
Aku ingin bertemu ketua DPR bahkan presiden dan menggugat undang-undang. Jarak antara aku sahabatmu ini dan kau sekarang sudah terlalu jauh. Kerinduan membuatku hatiku sedemikian terlantar. Aku ini anak-anak terlantar. Bukankah berarti kerinduanku ini ditanggung negara? Atau gugatanku ini salah alamat?
Zah,
Memang tidak ada yang abadi di dunia ini. Yang mana pun, pertemuan bahkan perpisahan, sama saja. Nanti kita akan bertemu, lalu berpisah lagi. Nanti kita menabur rindu, lalu menuai kembali.
Tapi, Zah, apakah kesabaran selalu menjadi solusi? Apakah tidak ada yang perlu ditentang, yang bisa membuatku berontak segagah pejuang? Ya, aku percaya pada Tuhan seperti yang kita yakini bersama. Tapi apa Tuhan percaya padaku juga, Zah, bahwa aku rindu?
Zah,
Apa di sana sedang turun hujan? Jika ya, mungkin keresahanku sedang disampaikan padamu. Tadi malam, di sini juga hujan. Sepertinya aku belum bercerita tentang kawan baruku. Sekarang aku berteman dengan orang-orang sholeh, orang-orang berhati mulia dari berbagai penjuru negeri ini, jadi kamu tak perlu mengkhawatirkan tentang pergaulanku.
Setiap hujan berteriak, kubisikkan doa-doa pada bulir-bulir gerimis yang jatuh di teras rumah hingga mereka bersatu dengan tanah, atau ditadah oleh daun-daun talas. Atau tergenang di dalam sepatuku. Atau apa pun. Lalu matahari menguapkan mereka, bergegas membawa rindu-rindu agar masih hangat saat tiba di ingatan dan senyummu setiap hari..
Semoga rindu-rindu itu sampai padamu. Bersama aroma tanah-tanah basah, mengendap-endap memenuhi rongga paru-paru. Larut bersama darah dan menyentil sel-sel otakmu agar mengingatku.
Doakan aku juga ya, Zah!
Sekarang, saat makin jauh jarak kita dipisahkan, bahkan jam dinding rumah kita saja tak lagi menunjukkan angka yang sama, aku makin merindukanmu.
Hujan di luar sana makin deras. Hujan salah alamat, kerinduanku itu seharusnya disampaikan kepadamu Zah, bukan dilarutkan kembali dalam air hujan yang jatuh satu-satu ke sini membuatku mengenang. Atau jangan-jangan air-air di selokan setelah hujan reda itu dihisap oleh nyamuk-nyamuk? Lalu memasukkan rindu-rindu itu kembali dalam tubuhku, beranak pinak bersama virus dengue ini? Lalu membuatku terkulai lemas?
*26 Maret 2017